Rabu, 16 April 2014

Psikoterapi Tugas Pribadi (Komentar Jurnal)

PSIKOTERAPI


DISUSUN OLEH:
NURSILA RAISAMATARI S (15512518)

KELAS: 2PA03-3PA06


UNIVERSITAS GUNADARMA


Komentar Jurnal
Jurnal peneliti yang berjudul “Terapi Keluarga untuk Peningkatan Komunikasi Verbal pada Orang dengan Skizofrenia” merupakan studi percobaan. Peneliti bertujuan untuk mendapatkan informasi mengenai seberapa penting peranan keluarga dalam perkembangan skizofrenia. Seperti yang kita tahu bahwa sejak awal kehidupan individu yang mengalami skizofrenia dipengaruhi oleh pengalaman belajar yang diterima dari anggota keluarganya. Jika sikap orang tua keras, maka akan mengganggu perkembangan jiwa anak yang kemudian menjadi lemah dan rapuh, sehingga mudah mengalami gangguan.
Terapi keluarga sangat penting untuk peningkatan kualitas komunikasi verbal untuk orang yang terkena skizofrenia karena dapat mengurangi ekspresi emosi keluarga terhadap orang dengan skizofrenia.
Setelah penelitian dalam jurnal tersebut analisis membuktikan bahwa terapi keluarga merupakan salah satu jenis terapi yang tepat dikenakan bagi orang dengan skizofrenia. Karena disitu orang dengan skizofrenia dan keluarganya diajarkan cara berkomunikasi yang baik. Namun dalam komunikasi verbal, pernyataan perasaan yang diekspresikan kepada orang skizofrenia harus hati-hati karena orang skizofrenia lebih peka terhadap situasi yang penuh emosi disbanding situasi yang tenang.
Jurnal  “Terapi Keluarga untuk Peningkatan Komunikasi Verbal pada Orang dengan Skizofrenia” sangat menarik untuk diteliti lebih lanjut karena seperti yang telah diketahui terapi keluarga sangat penting untuk orang dengan skizofrenia karena pada dasarnya peranan keluarga sangat penting dalam kesehatan mental anak. Diharapkan dilakukan penelitian lanjutan untuk meyakinkan bahwa terapi keluarga sangat baik untuk orang dengan skizofrenia.
Dalam penulisan yang sangat penting dalam jurnal “Terapi Keluarga untuk Peningkatan Komunikasi Verbal pada Orang dengan Skizofrenia” perlu adanya koreksi dan ketelitian sehingga pengertiannya tidak rancu.

Perlu adanya penggalian lebih dalam lagi agar meyakinkan pembaca bahwa terapi keluarga sangat baik untuk orang penderita skizofrenia. Berbagai aspek yang dikaitkan harus ditinjau kembali agar menghasilkan sesuatu yang belum diketahui secara umum.

Kesehatan Mental (Tugas Pribadi) Nursila Raisamatari (15512518)

KESEHATAN MENTAL
Description: gundar.jpg
DISUSUN OLEH:
NURSILA RAISAMATARI S (15512518)


KELAS: 2PA03



UNIVERSITAS GUNADARMA
PENGALAMAN MASA LALU DEMI LOVATO 
DALAM TEORI KESEHATAN MENTAL  
"PSIKOANALISIS FREUD"

Saya akan memasukan kasus Demi Lovato terhadap teori psikoanalisis dari Freud. Sigmund freud dan orang-orang yang mengikuti ajarannya mempelajari kepribadian yang terganggu secara emosional, bukan kepribadian yang sehat atau kepribadian yang paling buruk dari kodrat manusia, bukan yang paling baik.
Kepribadian yang sehat menurut psikoanalisis antara lain:
1. Individu bergerak menurut pola perkembangan yang ilmiah.
2. Kemampuan dalam mengatasi tekanan dan kecemasan, dengan belajar
3. Mental yang sehat ialah seimbangnya fungsi dari superego terhadap id dan ego
4. Tidak mengalami gangguan dan penyimpangan pada mentalnya
5. Dapat menyesuaikan keadaan dengan berbagai dorongan dan keinginan
Namun kasus Demi Lovato sangat bertentangan dengan 5 kepribadian sehat menurut psikoanalisis, Demi Lovato tidak mampu belajar mengatasi tekanan dan kecemasan oleh trauma masa lalunya, Demi Lovato juga tidak bisa menyeimbangkan fungsi dari superego karena dia tidak bisa percaya pada kenyataan dia balik ke masa lalunya selalu, Demi Lovato juga mengalami gangguan dan penyimpangan pada mentalnya Demi Lovato menyebut penyakitnya itu adalah “physical and emotional issue” yang belakangan diketahui berupa depresi dan bulimia. Karena itu, ia mencoba untuk menyembuhkan diri dengan tinggal di tempat rehabilitasi selama tiga bula, dan Demi Lovato juga tidak dapat menyesuaikan keadaan dengan berbagai dorongan dan keinginan. Ketika dia mengadakan konser dalam keadaan lapar.
Kasus Demi Lovato ini berawal dari kelas 7th Grade, setara dengan kelas 2 SMP di Indonesia, Demi Lovato di-bully oleh teman-teman sekolahnya. Ia yang saat itu masih kanak-kanak dan innocent diledek sebagai: “Cewe Gemuk” oleh tidak hanya satu, tapi banyak teman yang menyebutnya demikian. Memang itu hanya dua kata yang sederhana, tapi siapa sangka dua kata tersebut terekam kuat di otak Demi. Bahkan mempengaruhi hidupnya sampai sekarang. Sejak usia 12 tahun, Demi membenci tubuhnya. Ia menjadi seorang penderita eating disorder yang semakin lama semakin berkembang menjadi bulimia. Bulimia adalah gangguan pola makan yang serius, dimana seseorang makan makanan dengan jumlah yang banyak dalam waktu singkat dan kemudian dia membersihkan diri dari makanan tersebut dengan cara memuntahkan kembali  makanan tersebut atau dengan menelan obat pencahar. Hal ini diakibatkan oleh keinginan kuatnya untuk menjadi kurus.
Dengan menjadi artis, tidak membuat hidup Demi lebih baik, bahkan sebaliknya. Ia semakin kehilangan kepercayaan diri dan malu akan tubuh yang menurutnya ‘gemuk’ tersebut. Pola pikir ini membuat  Demi mengadakan konser dalam keadaan lapar, kehilangan suara karena muntah, dan dalam keadaan paling buruk, ia muntah lima kali dalam sehari. Bahkan Demi merasa  depresi apabila papparazi tersebut mengambil fotonya dengan angel yang buruk, sehingga ia kelihatan lebih gemuk.  Depresi ini mengantarkan Demi untuk mulai berkenalan dengan alkohol dan mulai menyayat-nyayat tangannya dengan benda tajam. Menurut Demi, ini adalah cara untuk keluar dari kecemasan dan depresi yang dialaminya.
Demi lovato  tidak lagi gemuk. Namun, apakah itu dapat membuat luka yang ditorehkan teman-teman disekolahnya dulu, menghilang? Apakah ia sekarang dapat merasa nyaman dengan tubuhnya? Apakah ia dapat menemukan kepercayaan diri kembali? Jawabannya adalah tidak. Karena menjadi kurus bukanlah solusinya. Apa yang terluka bukanlah fisik luarnya Demi, tapi di dalamnya, dihatinya. Walaupun ia telah menjadi artis, dipuja akan kecantikannya, bahkan jutaan wanita ingin menjadi seperti dirinya, namun tetap saja pengalaman di-bully oleh teman-teman sekolah menghantui hidupnya. Entah sampai kapan.
Walaupun saat ini Demi telah menyelesaikan program rehabilitasi, Demi mengakui bahwa ia masih berusaha keras untuk sembuh dari bulimia dan depresi yang dialaminya.  Bullying merupakan fenomena yang sangat sering terjadi dari zaman dulu hingga sekarang. Bullying sudah sangat lumrah  dilakukan oleh anak SD, SMP dan SMA. Bullying seperti sengaja dibiarkan tanpa ada tindakan yang berarti dari para guru dan orang tua untuk memarahi murid atau anaknya yang melakukan bully. Tidak ada yang tahu bahwa seseorang yang menjadi korban bullying, mungkin ia ikut tertawa diluar, namun menangis di dalam. Siapa yang menyangka bahwa ledekan yang sering kita dengar atau kita lakukan sehari-hari, dapat mempengaruhi hidup seseorang sedemikian jauh, mungkin untuk sementara atau untuk selama-lamanya.
Dari kisah hidup Demi Lovato, kita dapat menarik pelajaran yang sangat berharga mengenai dampak bullying terhadap kehidupan seseorang. Akhir kata, saya ingin mengutip salah satu ayat alqur’an yang saya ambil dari Surah Al-Hujurat:
“Dan janganlah kalian panggil memanggil dengan gelar yang buruk.” (QS. Al-Hujurat: 11).
Disini saya dapat menyimpulkan bahwa dalam aliran Psikoanalisa ini bisa dibilang manusia adalah korban tekanan biologis dan konflik masa kanak-kanak. Aliran ini melihat dari sisi negative individu, alam bawah sadar (id,ego,superego, mimpi dan masa lalu). Pandangan kaum psikoanalisa, hanya memberi kepada kita sisi yang sakit atau kurang, ‘sisi yang pincang’ dari kodrat manusia, karena hanya berpusat pada tingkah laku yang neouritis dan psikotis.




NURSILA RAISAMATARI
15512518
2PA03

Dosen: Ibu Lidya Chatrunnada

Kamis, 03 April 2014

Psikoterapi (Family Therapy) Tugas Pribadi



KOMENTAR JURNAL

A. KELEBIHAN JURNAL
Jurnal “PERAN TERAPI KELUARGA EKSPERIENSIAL DALAM KONSELING ANAK UNTUK MENGELOLA EMOSI” sangat menarik untuk diteliti lebih lanjut karena seperti yang telah diketahui bahwa Proses konseling anak sangat membutuhkan peran dari anggota keluarga. Lingkungan keluarga merupakan suatu tempat dimana anak berinteraksi sosial dengan orang tua yang paling lama. Perkembangan sistem sosial dikembangkan dalam keluarga untuk memberikan pengalaman pada anak bagaimana menyesuaikan diri dengan lingkungan di luar keluarga. 
Peran terapi keluarga eksperiensial adalah sebagai katalisator perubahan, dengan memanfaatkan dampak personal individu dalam keluarga agar anak dapat mengelola perkembangan emosi ke arah yang posistif. Dalam penelitian ini, peneliti mendapatkan hasil atau penemuan baru karena mengkaji tentang peran terapi keluarga eksperiensial untuk mengelola emosi. Diharapkan dilakukan penelitian lanjutan untuk meneliti aspek-aspek lain yang dapat diperoleh dari peran terapi keluarga sehingga diperoleh informasi yang menyeluruh



B. KELEMAHAN JURNAL
Dalam penulisan hal yang sangat penting dalam jurnal “PERAN TERAPI KELUARGA EKSPERIENSIAL DALAM KONSELING ANAK UNTUK MENGELOLA EMOSI” , perlu adanya koreksi dan ketelitian sehingga tidak terdapat kesalahan dalam aspek variabel  (pengertiannya menjadi rancu).
Perlu adanya penggalian lebih dalam lagi dari segi atau aspek emosi yang dimaksud peneliti, sehingga dapat tersampaikan dengan baik. Validitas dan reabilitas dari satu unsur terkait unsur lainnya perlu diteliti dan dibahas lebih mendetail agar tidak menimbulkan kekeliruan interpretasi. Berbagai aspek emosi yang dikaitkan ditinjau kembali agar menghasilkan sesuatu yang belum diketahui secara umum.






NURSILA RAISAMATARI
15512518
2PA03
PSIKOTERAPI

Rabu, 02 April 2014

KESEHATAN MENTAL "HUMANISTIK" TUGAS KELOMPOK

KESEHATAN MENTAL
gundar.jpg
DISUSUN OLEH:
IKHTIARNA UKHTI MALION (13512588)
MUHAMMAD ARIEF MUNANDAR (14512881)
NURSILA RAISAMATARI. S (15512518)
RHEZA YUDHISTIRA WIBOWO (16512235)
TANIA INDRIANA (16509639)
KELAS: 2PA03

UNIVERSITAS GUNADARMA
TEORI HUMANISTIK TENTANG
KESEHATAN MENTAL

A.    PENGERTIAN HUMANISTIK
Banyak sekali teori yang mengemukakan tentang kepribadian, akan tetapi pada pembahasan kali ini, kami dari kelompok “Humanistik” hanya akan membahas mengenai teori kepribadian Humanistic. Dalam pandangan Humanistic, manusia bertanggung jawab terhadap hidup dan perbuatannya serta mempunyai kebebasan dan kemampuan untuk mengubah sikap dan perilaku mereka. Maslow menekankan bahwa individu merupakakn kesatuan yang terpadu dan teroganisasi, sedangkan Kelly menyakini bahwa tidak ada kebenaran yang objektif dan kebenaran yang mutlak absoulot (dalam Hikmat,2012).
Teori Humanistic dipandang sebagai “third force” (kekuatan ketiga) dalam psikologi, dan merupakan alternative dari kedua kekuatan yang dewasa ini dominan (psikoanalisa dan behavioristik). Kekuatan ketiga ini disebut humanistic karena memiliki minat yang eksklusif terhadap tingkap laku manusia. Humanistic dapat diartikan sebagai “Orientasi eoritis yang menekankan kualitas manusia yang unik, khususnya terkait dengan free will dan potensi untuk mengembangkan dirinya”
Humanistik mulai muncul sebagai sebuah gerakan  besar psikologi dalam tahun 1950-an. Aliran Humanistik merupakan konstribusi dari psikolog-psikolog terkenal seperti Gordon Allport, Abraham Maslow dan Carl Rogers.
Walaupun psikolog humanistik dipengaruhi oleh psikoanalisis dan behaviorisme, namun aliran ini mempunyai ketidaksesuaian yang sangat berarti dengan psikoanalisis dan behaviorisme. Tekanan utama yang oleh behavioris dikenakan pada stimuli dan tingkah laku yang teramati, dipandang Psikologi Humanistik sebagai penyederhanaan yang keterlaluan yang melalaikan diri manusia sendiri dan pengalaman-pengalaman batinnya, tingkah lakunya yang kompleks seperti cinta, nilai-nilai dan kepercayaan, begitu pula potensinya untuk mengarahkan diri dan mengaktualisasikan diri. Maka psikologi humanistik sangat mementingkan diri (self) manusia sebagai pemersatu yang menerangkan pengalaman-pengalaman subjektif individual, yang banyak menentukan tingkah lakunya yang dapat diamati. Psikolog-psikolog Humanistik pun tidak menyetujui pandangan pesismis terhadap hakekat manusia dan dicerminkan oleh psikoanalisis Freud maupun pandangan netral (tidak jahat dan tidak baik) kaum behavior.
Kedua aliran itu memandang tingkah laku manusia secara salah yaitu sebagai tingkah laku yang seluruhnya ditentukan oleh kekuatan-kekuatan diluar kekuasaannya; apakah kekuatan-kekuatan itu berupa motif-motif yang tak disadari atau conditioning dari masa kanak-kanak dan pengaruh lingkungan. Bertentangan dengan kedua pandangan aliran tadi, aliran Humanistik menyetujui sebuah konsep yang jauh lebih positif mengenai hakekat manusia, yakni memandang hakekat manusia itu pada dasarnya baik. Perbuatan-perbuatan manusia yang kejam dan mementingkan diri sendiri dipandang sebagai tingkah laku patologik yang disebabkan oleh penolakan dan frustasi dari sifat yang pada dasarnya baik itu. Seorang manusia tidak dipandang sebagai mesin otomat yang pasif, tetapi sebagi peserta yang aktif yang mempunyai kemerdekaan memilih untuk menentukan nasibnya sendiri dan nasib orang lain.
Psikologi Humanistik mengarahkan perhatiannya pada humanisasi psikologi yang menekankan keunikan manusia. Psikologi humanistic manusia adalah makhluk kreatif, yang dikendalikan oleh nilai-nilai dan pilihan-pilihannya sendiri bukan pada kekuatan-kekuatan ketidaksadaran.
Abraham Maslow menekankan pada teori motivasinya, yaitu:
1.      Kebutuhan-kebutuhan fisiologis
2.      Kebutuhan-kebutuhan rasa aman
3.      Kebutuhan-kebutuhan rasa cinta dan memiliki
4.      Kebutuhan akan penghargaan
5.      Kebutuhan akan aktualisasi diri
B.     MENINJAU KESEHATAN MENTAL MENURUT HUMANISTIK
Dari kebutuhan di atas manusia memiliki motivasi yang mempengaruhi sikapnya. Motivasi menimbulkan perilaku. Sesuai dengan keyakinan humanistic bahwa manusia unik maka untuk memenuhi kebutuhan manusia melakukan hal-hal yang berbeda, kreatif dan bebas dari segala tekanan dari luar. Dalam mengambil keputusan individu yang sehat juga menggunakan segala aspek psikologisnya seperti emosional dan intelegensinya dan tidak terburu-buru. Hal tersebut merupakan ciri dari orang yang memiliki jiwa yang sehat.
Dan kesehatan mental menurut humanistic adalah setiap manusia memiliki caranya masing-masing untuk mengatasi gangguan mentalnya dan bagaimana manusia melakukan hal yang berbeda-beda dalam menghadapi berbagai tekanan yang dapat menimbulkan gangguan kesehatan mental.
Menurut aliran humanistic kepribadian yang sehat, individu dituntut untuk mengembangkan potensi yang terdapat didalam dirinya sendiri. Bukan saja mengandalkan pengalamn-pengalaman yang terbentuk pada masa lalu dan memberikan diri untuk belajar mengenai suatu pola mengenai yang baik dan benar sehingga menghasilkan respon individu yang bersifat baik (dalam Pramudityo,2013) . bagi ahli-ahli psikologi humanistic, manusia jauh lebih banyak memiliki potensi. Manusia harus dapat mengatsi masa lampau, kodrat biologis, dan ciri-ciri lingkungan. Manusia juga harus berkembang dan tumbuh melampaui kekuatan-kekuatan negative yang secara potensial menghambat.
C.    KESEHATAN MENTAL MENURUT ALLPORT
Allport percaya bahwa orang-orang yang matang dan sehat tidak dikuasai oleh kekuatan-kekuatan tak sadar (kekuatan yang tidak dapat dilihat dan dipengaruhi). Orang-orang yang sehat tidak didorong oleh konflik-konflik tidak sadar . individu yang sehat berfungsi pada tingkat rasional dan sadar, menyadari sepenuhnya kekuatan yang membimbing dia dan dapat mengontrol kekuatan itu juga.
Kepribadian yang matang tidak dikontrol oleh trauma ataupun konflik pada masa kanak-kanak. Pusat dari kepribadian kita adalah intensi-intensi kita yang sadar dan sengaja, misalnya harapan, aspirasi dan impian. Manusia didorong untuk mereduksikan tegangan-tegangan, menjaga supaya tegangan-tegangan berada pada tingkat yang paling rendah dan menjaga satu keadaan keseimbangan homeostatis internal atau “homeostatis”.
Manusia yang sehat memiliki kebutuhan akan sensasi-sensasi dan tantangan tantangan yang bervariasi. Orang yang sehat didorong ke depan oleh suatu visi masa depan, dan visi itu menyatukan kepribadiannya dan membawa orang itu ke tingkat stress yang lebih tinggi.
Menurut Allport, kebahagiaan bukanlah suatu tujuan dalam diri, tetapi hasil sampingan dari integrasi kepribadian dalam mengejar aspirasi dan tujuan. Tujuan-tujuan yang dicita-ditakan oleh orang yang sehat pada hakikatnya tidak dapat dicapai. Orang-orang yang matang dan sehat tidak puas apabila dalam melakukan sesuatu hanya dalam taraf sedang atau memadai, mereka baru merasa puas apabila melakukan sesuatu dengan kemampuan maksimal mereka.
A.     Pendekatan Allport terhadap kepribadian
Individu-individu yang sehat yang berfungsi pada tingkat rasional dan sadar, menyadari kekuatan-kekuatan yang membimbing mereka dan dapat mengontrol kekuatan-kekuatan itu juga. Orang-orang yang sehat bebas dari masa lampau. Orang-orang yang sehat dibimbing dan diarahkan oleh masa sekarang dan oleh intense-intensi kea rah masa depan dan antisipasi-antisipasi masa depan. Pandangan orang yang sehat adalah ke depan, kepada peristiwa-peristiwa kontemporer yang akan datang dan tidak mundur kembali kepada peristiwa-peristiwa masa kanak-kanak.
B.     Motivasi pada pribadi yang sehat
Orang yang sehat didorong kedepan oleh suatu visi masa depan dan visi itu dengan tujuan-tujuan khusus mempersatukan kepribadian dan membawa orang itu kepada tingkat-tingkat tegangan yang bertambah. Motivasinya lebih kepada mencari kepuasaan yang lebih tinggi tingkatannya setelah salah satu tujuan telah terpenuhi. Contoh: ketika kebutuhan biologis sudah terpenuhi maka individu tersebut akan mencari lagi sesuatu yang baru yang dapat memuaskannya.
C.     Kriteria kepribadian yang sehat
1.      Perluasan diri sendiri
Orang menjadi matang, dia mengembangkan perhatian-perhatian di luar diri.
2.      Hubungan diri yang hangat dengan orang-orang lain
Orang yang sehat secara psikologis mampu memperlihatkan keintiman-keintiman atau cinta serta simpati dan empati terhadap orang lain.
3.      Keamanan emosional
Kepribadian yang sehat mampu menerima semua segi dari apa yang ada pada diri mereka, termasuk kelemahan-kelemahan dan kekurangan-kekurangan.
4.      Persepsi realistis
Orang yang sehat memandang dunia mereka secara objektif.
5.      Keterampilan-keterampilan dan tugas
Orang yang berjiwa sehat menggunakan keterampilan-keterampilan secara ikhlas, antusias, melibatkan dan menempatkan diri sepenuhnya dalam pekerjaan kita.
6.      Pemahaman diri
Memahami tentang hubungan atau perbedaan antara gambaran tentang diri yang dimiliki seseorang dengan dirinya menurut keadaan yang seseungguhnya.
7.      Filsafat hidup yang mempersatukan
Orang yang berjiwa sehat memiliki pandangan hidup dan nilai-nilai diri sendiri dalam menjalani hidup dan mengambil keputusan. Bukan berdasarkan nilai-nilai dan pandangan orang lain.
Ketujuh hal di atas yang menjadi landasan dalam menyikapi proporium sebagai landasan dasar perkembangan yang sehat.
Menurut Allport, kebahagiaan bukanlah suatu tujuan dalam diri, tetapi hasil sampingan dari integrasi kepribadian dalam mengejar aspirasi dan tujuan. Tujuan-tujuan yang dicita-citakan oleh orang yang sehat pada hakikatnya tidak dapat dicapai. Orang-orang yang matang dan sehat tidak puas apabila dalam melakukan sesuatu hanya dalam taraf sedang atau memadai, mereka baru merasa puas apabila melakukan sesuatu dengan kemampuan maksimal mereka.
D.    KESEHATAN MENTAL MENURUT MASLOW
Maslow berpendapat bahwa seseorang akan memiliki kepribadian yang sehat, apabila dia telah mampu untuk mengaktualisasikan dirinya secara penuh (self-actuaizing person). Maslow mengungkapkan teori motivasi bagi self-actualizing person dengan nama metamotivation. Meta-needs, B-motivation, atau being values (dalam Ruswandi,dkk 2010). Beberapa kepribadian yang sehat menurut humanistic, adalah perilaku yang mengarah pada aktualisasi diri. Misalkan seperti:
1.      Menjalani hidup seperti seorang anak, dengan penyerapan dan konsentrasi sepenuhnya.
2.      Mencoba hal-hal baru dibandingkan bertahan pada cara-cara yang aman dan tidak berbahaya.
3.      Bekerja keras untuk apa saja yang ingin dilakukan
4.      Mencoba mengindetifikasikan pertahan diri dan memiliki keberanian untuk menghentikannya.
E.     KESIMPULAN
Teori humanistic menyatakan bahwa setiap manusia unik. Manusia adalah makhluk kreatif, yang dikendalikan oleh nilai-nilai dan pilihan-pilihannya sendiri bukan pada kekuatan-kekuatan ketidaksadaran. Kesehatan mental menurut humanistic adalah sesuai dengan keyakinan humanistic bahwa manusia unik maka untuk memenuhi kebutuhan manusia melakukan hal-hal yang berbeda, kreatif dan bebas dari segala tekanan dari luar dan bagaimana manusia melakukan hal yang berbeda-beda dalam menghadapi berbagai tekanan yang dapat menimbulkan gangguan kesehatan mental.

Daftar Pustaka
Sumadi, Suryabrata. 2008. Psikologi Kepribadian. RajaGrafindo Persada : Jakarta
Schultz, Duane. 1991. Psikologi Pertumbuhan Model Model Kepribadian Sehat. Kanisius: Yogyakarta.
Basuki, Heru. 2008. Psikologi Umum. Universitas Gunadarma:Jakarta
Semiun, Yustinus. 2006. Teori Kepribadian & Terapi Psikoanalitik Fromm. Kanisius:Yogyakarta
Schultz Duane. 1991. Pengantar Psikologi Kepribadian Non Psikoanalitik. Kanisius:Yogyakarta
                  
Rochman, Kholil.2010.Kesehatan Mental.Yogyakarta : Fajar Media Press.
Ruswandi, Uus, Badrudin.2010. Pengembangan Kepribadian Guru.Bandung: CV. Insan Mandiri.
Koswara, E. 1991. Teori-teori Kepribadian. Bandung: PT. Eresco.
Hikmat.2012.Teori Kepribadian Humanistik. Jurnal. http://azriazizah0.blogspot.com/2013/03/teori-kepribadian-sehat.html
Pramudityo. M.R. 2013. Teori Kepribadian Sehat Menurut aliran Humanistik, Aliran Psikoanalisis, dan Aliran Behavioristik. Jurnal. http://azriazizah0.blogspot.com/2013/03/teori-kepribadian-sehat.html.

Selasa, 01 April 2014

PSIKOTERAPI (FAMILY THERAPY) + REVIEW JURNAL (TUGAS KELOMPOK)



PSIKOTERAPI

DISUSUN OLEH:
ANNISA RACHMADILA RIANI (10512973)
FEBBRY RAHMAT DWICAHYO  (12512844)
IKHTIARNA UKHTI MALION (13512588)
NURSILA RAISAMATARI S (15512518)

KELAS: 2PA03-3PA06

UNIVERSITAS GUNADARMA



A.    KONSEP DAN PRINSIP DASAR FAMILY THERAPY
Terapi keluarga adalah model terapi yang bertujuan mengubah pola interaksi keluarga sehingga bisa membenahi masalah-masalah dalam keluarga (Gurman, Kniskern & Pinsof, 1986). Terapi keluarga muncul dari observasi bahwa masalah-masalah yang ada pada terapi individual mempunyai konsekuensi dan konteks sosial. Contohnya, klien yang menunjukkan peningkatan selama menjalani terapi individual, bisa terganggu lagi setelah kembali pada keluarganya. Menurut teori awal dari psikopatologi, lingkungan keluarga dan interksi orang tua- anak adalah penyebab dari perilaku maladaptive (Bateson et al,1956; Lidz&Lidz, 1949 ;Sullivan, 1953).
Teori keluarga memiliki pandangan bahwa keluarga adalah fokus unit utama. Keluarga inti secara tradisional dipandang sebagai sekelompok orang yang dihubungkan oleh ikatan darah dan ikatan hukum. Fungsi keluarga adalah sebagai tempat saling bertukar antara anggota keluarga untuk memenuhi kebutuhan fisik dan emosional setiap individu. Untuk menjaga struktur mereka, sistem keluarga memiliki aturan, prinsip-prinsip yang memungkinkan mereka untuk melakukan tugas-tugas hidup sehari-hari. Beberapa peraturan yang dinegosiasikan secara terbuka dan terang-terangan, sedangkan yang lain terucap dan rahasia. Keluarga sehat memiliki aturan yang konsisten, jelas, danditegakkan dari waktu ke waktu tetapi dapat disesuaikan dengan perubahan perkembangan kebutuhan keluarga. Setiap anggota keluarga memiliki peranan yang jelas terkait dengan posisi sosial mereka.
Terapi keluarga sering dimulai dengan fokus pada satu anggota keluarga yang mempunyai masalah. Khususnya, klien yang diidentifikasi adalah remaja laki-laki yang sulit diatur oleh orang tuanya atau gadis remaja yang mempunyai masalah makan. Sesegara mungkin, terapis akan berusaha untuk mengidentifikasi masalah keluarga atau komunikasi keluarga yang salah, untuk mendorong semua anggota keluarga mengintrospeksi diri menyangkut masalah yang muncul. Tujuan umum terapi keluarga adalah meningkatkan komunikasi karena keluarga bermasalah sering percaya pada  pemahaman tentang arti penting dari komunikasi (Patterson, 1982).
Terapi keluarga mengajarkan penyelesaian tanpa paksaan, mengajarkan orang tua untuk menetapkan kedisiplinan pada anak-anak mereka, mendorong tiap anggota keluarga untuk berkomunikasi secara jelas satu sama lain, mendidik anggota keluarga dalam prinsip perubahan perilaku, tidak menekankan kesalahan pada satu anggota akan tetapi membantu anggota keluarga apakah hyarapan terhadap anggota yang lain masuk akal.
Pendekatan berpengaruh yang lain disebut strategi atau terapi keluarga terstruktur (Minuchin, 1974; Satir, 1967). Disini, terapis berusaha menemukan problem utama dari masalah klien dalam konteks keluarga, bukan sebagai masalah individual. Tujuannya adalah untuk mengurangi sikap menyalahkan yang mengarah pada satu orang. Contohnya, terapis menyampaikan bahwa perilaku menentang dan agresif dari remaja mungkin adalah tanda dari ketidakamanan remaja atau alasan untuk mendapatkan perhatian yang lebih dari ayahnya. Pada banyak keluarga yang mengalami stress, pesan emosional begitu tersembunyi sehingga anggota keluarga lebih sering berbicara tanpa berbuat. Mereka sering mengasumsikan bahwa mereka dapat “saling membaca pikiran masing-masing”.
Saat ini, terapi keluarga terstruktur telah disesuaikan untuk membawa faktor budaya yang mungkin berpengaruh pada terapi keluarga dari kelompok etnis tertentu. Untuk membawa keluarga ke terapi, membuat mereka tetap kembali, harus ada perjanjian keluarga yang disusun untuk menghindari hal-hal berikut :
1.      penolakan anak untuk mengikuti terapi,
2.      sikap ambivalen ibu dalam memasukkan keluarganya ke dalam terapi,
3.      penolakan keberadaan seorang ayah dalam keluarga, dan anggota keluarga tetap berusaha menjaga rahasia keluarga dari orang asing.
Terapi keluarga biasanya diberikan saat pasien sudah dewasa sebagai hasil dari keluarga yang patologis. Terapi individual mungkin tidak berguna karena kondisi keluarga yang tidak mendukung.  
Kondisi keluarga itu bisa mengganggu kepribadian dan tingkah laku pasien. Namun jika memungkinkan, tritmen bagi penderita skizofrenia atau borderine yang masih awal dengan memanfaatkan seluruh anggota yang ada mungkin bisa berguna. Terapi dimulai dengan fokus pada masalah yang dialami pasien dalam keluarga dan kemudian anggota keluarga menyampaikan/memberikan kontribusi masing-masing. Terapis bertugas untuk mendorong seluruh anggota keluarga untuk mau terasa terlibat dalam masalah yang ada bersama-sama.
Ketika masalah muncul, terapi akan berusaha untuk mengidentifikasi masalah keluarga atau komunikasi keluarga yang salah, untuk mendorong semua anggota keluarga mengintrospeksi diri menyangkut masalah yang muncul. Tujuan umum terapi keluarga adalah meningkatkan komunikasi karena keluarga bermasalah sering percaya pada pemahaman tentang arti penting dari komunikasi (Patterson, 1982).
Terapis keluarga biasa dibutuhkan ketika :
1.      Krisis keluarga yang mempengaruhi seluruh anggota keluarga
2.      ketidak harmonisan seksual atau perkawinan
3.      konflik keluarga dalam hal norma atau keturunan

B.    UNSUR-UNSUR DALAM FAMILY THERAPY
Terapi keluarga didasarkan pada teori system (Van Bertalanffy, 1968) yang terdiri dari 3 prinsip. Pertama adalah kausalitas sirkular, artinya peristiwa berhubungan dan saling bergantung bukan ditentukan dalam sebab satu arah–efek perhubungan. Jadi, tidak ada anggota keluarga yang menjadi penyebab masalah lain; perilaku tiap anggota tergantung pada perbedaan tingkat antara satu dengan yang lainnya. Prinsip kedua, ekologi, mengatakan bahwa system hanya dapat dimengerti  sebagai pola integrasi, tidak sebagai kumpulan dari bagian komponen. Dalam system keluarga, perubahan perilaku salah satu anggota akan mempengaruhi yang lain. Prinsip ketiga adalah subjektivitas yang artinya tidak ada pandangan yang objektif terhadap suatu masalah, tiap anggota keluarga mempunyai persepsi sendiri dari masalah keluarga.
Terapi keluarga tidak bisa digunakan bila tidak mungkin untuk mempertahankan atau memperbaiki hubungan kerja antar anggota kunci keluarga. Tanpa adanya ksadaran akan pentingnya menyelesaikan masalah pada setiap anggota inti keluarga, maka terapi keluarga sulit dilaksanakan. Bahkan meskipun seluruh anggota keluarga datang atau mau terlibat, namun beberapa system dalam keluarga akan sangat rentan untuk terlibat dalam terapi keluarga.

1.      PERAN PERAWAT DALAM TERAPI KELUARGA
Untuk peran perawat sendiri dalam terapi keluarga adalah melakukan asuhan keperawatan yang relevan dimana untuk perawat yang tidak memiliki sertifikasi dalam melaksanakan terapi adalah memberikan psiko edukasi pada keluarga sedangkan bagi yang memiliki sertifikasi adalah memberikan terapi sesuai dengan kondisi pasien. Sementara itu, menurut Newman intervensi yang dilakuakn perawat mencakup intervensi primer dan tersier yaitu :
A.    mendidik kembali dan mengorientasikan kembali seluruh anggota keluarga.
B.     memberikan dukungan kepada klien serta sistem yang mendukung klien untuk mencapai tujuan dan usaha untuk berubah
C.     mengkoordinasi dan mengintegrasikan sumber pelayanan kesehatan
D.    memberi penyuluhan, perawatan di rumah, psiko edukasi,dll
Tak kalah penting adalah jika kita bukan perawat bersertifikasi kita bisa melakukan hal paling mendasar untuk menentukan apakah seseorang tersebut memnag membutuhkan terapi keluarga atau tidak yaitu dengan pengkajian indikasi dilakukan terapi keluarga pada klien tersebut/diantaranya yaitu:
A.      Segan terhadap psikoterapi individu karena takut, tidak percaya pada terapi, menetang keras terapi, melawan figure orang tua.
  1.  Tidak\kurang berpengalaman dengan saudara-saudaranya, mempunyai pertentangan dengan anggota keluarga lain, tidak\sukar menyesuaikan diri dalam keluarga.
  2.  Ada salah satu anggota keluarga yang mempunyai intelegensi rendah atau komunikasi keluarga yang terhambat.
Selain Peran perawat yang perlu diperhatikan juga adalah bagaimana perawat membantu serta mendorong keluarga untuk terlibat dalam mencegah klien kambuh. Alasan keluarga dilibatkan dalam mencegah kekambuhan pada klien adalah :
A.      keluarga merupakan tempat individu pertama memulai hubungan interpersonal dengan lingkungan.
  1. Keluarga merupakan suatu sistem yang utuh dan tidak terpisahkan sehingga jika ada satu yang terganggu yang lain ikut terganggu.
  2. Keluarga menurut Sullinger(1988) merupakan salah satu penyebab klien gangguan jiwa menjadi kambuh lagi sehingga diharapkan jika keluarga ikut berperan dalam mencegah klien kambuh setidaknya membantu klien untuk dapat mempertahankan derajat kesehatan mentalnya karena keluarga secara emosional tidak dapat dipisahkan dengan mudah.
2.      Tujuan Terapi Keluarga
A.    Menurunkan konflik kecemasan keluarga.
B.     Meningkatkan kesadaran keluarga thd kebutuhan masing-masing anggota keluarga.
C.     Meningkatkan kemampuan penanganan terhadap krisis.
D.    Mengembangkan hubungan peran yg sesuai.
E.      Membantu keluarga menghadapi tekanan dari dlm maupun dari luar anggota keluarga.
F.      Meningkatkan kesehatan jiwa keluarga sesuai dg tingkat perkembangan anggota keluarga.

C.     TEKNIK FAMILY THERAPY
Terapi keluarga dilakukan dengan menggunakan tehnik berikut :
1.      Terapi Keluarga Berstruktur.
          Terapi keluarga berstruktur adalah suatu kerangka teori tehnik pendekatan individu dalam konteks sosialnya.
              Tujuan adalah mengubah organisasi keluarga.
          Terapi keluarga berstruktur memepergunakan proses balik antara lingkungan dan orang yang terlibat perubahan– perubahan yang ditimbulkan oleh seseorang terhadap sekitarnya dan cara–cara dimana umpan balik terhadap perubahan perubahan tadi mempengaruhi tindakan selanjutnya. Terapi keluarga mempergunakan tehnik – tehnik dan mengubah konteks orang–orang terdekat sedemikian rupa sehingga posisi mereka berubah dengan mengubah hubungan antara seseorang dengan konteks yang akrab tempat dia berfungsi, kita mengubah pengalaman subyektifnya.
2.      Terapi Individu / Perorangan
                  Melihat individu sebagai suatu tempat yang patologis dan mengumpulkan data yang di peroleh dari atau tentang individu tadi.
                  Pada terapi perorangan dilakukan pengungkapan pikiran dan perasaan tentang kehidupannya sekarang, dan orang – orang didalamnya. Riwayatnya perkembangan konfliknya dengan orang tua dan saudara – saudaranya.
                  Bila akan dirujuk ke dalam terapi keluarga maka terapist akan mengekporasi interaksi individu dalam konteks hidup yang berarti.
                  Dalam wawancara keluarga terapist mengamati hubungan individu dengan anggota keluarga lainnya dukungan yang diberikan oleh anggota keluarga.
Dalam perjalanannya, untuk membedakan suatu dimensi dari berorientasi individu ke sistem yang diorientasikan pemikiran, keluarga therapists dapat diuraikan seperti kepala perguruan tinggi/ dirigen. Dirigen, sebagai pembanding, cenderung ke program dan mengorganisir cara bekerja, menentukan agenda, menugaskan tugas, dan dengan aktif menanyai dan mengajar. Dalam kasus Ackerman, ini mungkin dalam rangka menghilangkan pengingkaran dan kemunafikan, menuntut anggota keluarga untuk lebih membuka dengan dia dan dengan diri mereka. Ia menghadapi seksual, agresif, dan perasaan tergantung. Cara nya besar, yakin, dan jujur. Satir, pada sisi lain, menjadikan dirinya sebagai guru dan tenaga ahli di  komunikasi. Dia mengarahkan ke diskusi, dan menunjukkan permasalahan dalam hal komunikasi. Dia menetapkan dirinya sebagai contoh komunikasi yang jelas, penggunaan yang sederhana dan kata-katanya jelas, dan menjelaskan prinsip nya kepada keluarga. Meskipun demikian terkait dengan segi manusia yang lain yang dapat merasakan dan interaksi, dia pada dasarnya seorang guru dan contoh yang memiliki kejelasan dalam berkomunikasi. Bagaimanapun, apakah lebih sebagai kondektur atau reaktor, Ackerman dan Satir, semua keluarga therapists perlu bermain suatu peran yang lebih aktif dibanding yang sudah biasa dalam individu therapy. Therapist harus yang lebih memiliki kemampuan dalam penggunaan kendali, melembutkan argumentasi, dan memandu diskusi. Terapi keluarga meletakkan therapist dalam suatu hubungan yang berbeda dengan klien nya dibanding dalam  terapi kelompok atau individu. Ia tidak dimulai dari dasar yang sama atau dari sama sama ketidak-tahuan. Anggota keluarga masuk dengan suatu pengalaman umum; therapist adalah orang luar. Dalam pelaksanaan bahkan untuk mengerti sindiran sindiran mereka untuk membagi bersama pengalaman, ia harus belajar ke kultur keluarga, bahasa dan aturan. Therapist harus sampai kepada dalamnya sistem keluarga memahami dan bekerja dengan itu. Sekalipun begitu ia tidak bisa menjadi 'yang diatur & bagian dari sistem', karena ia harus menyendiri dari itu dalam rangka memahami aktivitas nya dan untuk memandu perubahan nya. Begitu, sisanya antar detasemen dan keterlibatan menjadi yang lebih dikritisi dalam keluarga therapy dibanding dalam bentuk lain psikoterapi. Cara-cara lain, adalah dengan  berbagi tugas yang umum dari semua therapists, untuk menyediakan suatu atmospir yang mendukung dan aman untuk menghadapi pengalaman menyakitkan.
Therapy umumnya mulai dengan usaha untuk menemukan apa yang sedang mengganggu keluarga dan apa yang mereka harapkan melalui terapi ini. Sesi pertama atau kedua hanya boleh melibatkan pasangan yang sudah menikah, dimana sebagai pemimpin menyangkut keluarga. Yang secara khas cukup, masalah yang ada dikaitkan dengan perilaku yang menganggu menyangkut pasien yang dikenali "Pemuda lontang lantung mogok sekolah, dan menggunakan narkoba." Itu hampir suatu kebenaran mutlak bahwa semua anggota keluarga tidak membagi dugaan yang sama tentang apa yang salah, mengapa masalah datang, atau seberapa penting hal itu diharapkan untuk di tritmen bersama-sama. Untuk memperjelas gabungan persepsi dan alasan adalah suatu awal tugas penting. Dalam proses yang sama, therapis berusaha untuk mengkomunikasikan sebagian dari peraturan utama, bahwa semua anggota akan diperlakukan sebagai individu, mereka akan masing-masing diharapkan untuk mengambil bagian, dan poin-poin pandangan mereka akan dihargai.
D.    PENDEKATAN FAMILY THERAPY
1.      Network therapy
Secara  logika,  terapi  keluarga  adalah  perluasan  dari  simultan  dengan semua  yang  tersedia  dari  system  kekeluargaan,  teman,  dan  tetangga serta  siapa  saja  yang  berkepentingan  untuk  memupuk  rasa  kekeluargaan   ( Speck and Attneave, 1971).
2.      Multiple-impact therapy
Multiple-impact  therapy  biasanya  dapat  membantu  remaja pada  saat  mengalami  krisis  situasi  ( MacGregor et al.,1964 ). Tim kesehatan mental bekerja dengan keluarga yang beramasalah selama dua hari. Setelah dibei pengarahan, anggota tim akan dipasangkan dengan  salah satua atau lebih anggota keluarga dengan beberapa varisasi kombinasi. Mungkin ibu dan putrinya dapat ditangani oleh satu orang terapist, sedangkan ayah ditangani secara individual sepert halnya anak laki-lakinya. Bila dibutuhkan regroup diperbolehkan untuk mengeksplorasi maslah keluarga yang rumit. Tujuan dari terapi adalah untuk reorganisasi sistem keluarga sehingga dapat terhindar dari malfungsi. Diharapkan sistem keluarga menjadi lebih terbuka dan adaptif, untuk itu terus dilakukan followup.
3.      Multiple- family and multiple- couple group therapy
Masa  kegiatan  kelompok  keluarga  selanjutnya  menimbulkan  suatu  keadaan  yang  biasa  untuk  membantu  masalah  emosional ( e.g., Laqueur, 1972 ). Model  ini,  partisipan  tidak  dapat  memeriksa  satu  persatu  dengan  mentransaksi  keluarga  kecil  mereka  tetapi  mengalami  simultan  mengenai  masalah  ekspresi  oleh  keluarga  dan  pasangan  suami  istri. Dengan  demikian,  terapi  kelompok  ini  dapat  menunjang  pemikiran  pada  pasangan  suami  istri.

Daftar pustaka
Sundberg, D, Winebarger, A, Taplin, J. 2007. Psikologi Klinis. Yogyakarta : Pustaka Pelajar.
Wiramihardja, S.A. 2004. Pengantar Psikologi Klinis (Edisi Revisi). Bandung : Refika Aditama
Becvar, Dorothy S. Becvar, Raphael J. 1976.Family Teraphy ( A systematic Intregation). Adivision of Simon & Schester, Inc. Needham Height; Massachusetts.
Korchin, Sheldon J. 1976.Modern Clinical Psychology. Basic Books, Inc. Publishers: New York.
Nietzel, Michael. 1998. Introduction To Clinical Psychology. Simon & Schuster /  Aviacom Company. Upper Saddle River: New Jersey.
Massachusetts, A Simon & Scuster Company. Imbercoopersmith, Evan. 1985. Teaching Trainee To Think In Triad. Journal of Marital and Family Therapy, Vol.11, No.1,61-66.




REVIEW JURNAL
SAWWA – Volume 8, Nomor 2, April 2013

JUDUL: “PERAN TERAPI KELUARGA EKSPERIENSIAL DALAM KONSELING ANAK UNTUK MENGELOLA EMOSI”

1.      LATAR BELAKANG
Proses konseling anak sangat membutuhkan peran dari anggota keluarga. Keluarga merupakan hubungan atau interaksi antara dua orang atau lebih dan mempunyai ikatan darah, ikatan karena perkawinan, kekerabatan yang didalamnya terdapat suatu sistem saling mengikat satu sama lain seperti adanya aturan-aturan, perbedaan budaya, dan perbedaan peran setiap anggota.9 Lingkungan keluarga merupakan suatu tempat dimana anak berinteraksi sosial dengan orang tua yang paling lama. Perkembangan sistem sosial dikembangkan dalam keluarga untuk memberikan pengalaman pada anak bagaimana menyesuaikan diri dengan lingkungan di luar keluarga.
Perilaku anak yang tidak bisa diterima oleh lingkungan akan berdampak pada anggota keluarga lainnya. Apalagi jika perilaku tersebut disebabkan oleh gangguan emosional yang tidak terselesaikan dalam lingkungan keluarga. Hal itu akan berdampak buruk bagi perkembangan emosi anak selanjutnya. Untuk itu dibutuhkan interaksi yang intens dalam keluarga untuk menjaga agar emosi anak tidak terganggu. Jika keluarga tidak mampu mengatasi masalah anggota keluarga, maka dibutuhkan konselor untuk membantu menyelesaikan masalah yang menimpa keluarganya.
Peran terapi adalah sebagai katalisator perubahan, dengan memanfaatkan dampak personal  perasaan dengan keluarga. Hal ini bisa memunculkan transferensi (pemindahan) dan kontratransferensi. Untuk itu dibutuhkan usaha menyampaikan perasaan terbuka agar kontratransferensi bisa diminimalisir.


2.      TUJUAN
Tujuan terapi ini juga membantu memperjelas komunikasi dalam keluarga dan menghindarkan adanya keluhan-keluhan, sehingga ada usaha untuk menemukan solusi. Untuk itu anggota keluarga ikut aktif terlibat dalam proses konseling dan tetap mempertahankan harga diri yang positif.
Menurut David dan Kathryn Geldard tujuan proses konseling pada anak memiliki 4 tingkatan, yaitu:
A.    Tujuan fundamental bisa diterapkan secara global bagi semua anakanak dalam terapi, yaitu memberdayakan anak-anak untuk menghadapi masalah emosional yang menyakitkan, mencapai tingkatan kongruen yang berkaitan dengan pemikiran, emosi, dan perilaku, merasa nyaman dengan dirinya, menerima keterbatasan dan kelebihan dirinya, mampu merubah sikap yang berdampak negatif, bisa berfungsi dan beradaptasi dengan lingkungan rumah maupun di sekolah, serta memaksimalkan peluang bagi anak untuk mewujudkan target pencapaian.
B.     Tujuan orangtua ketika melakukan proses konseling biasanya didasarkan pada perilaku terakhir anak. Misalnya jika anak suka melawan pembicaraan orangtua, maka tujuannya adalah bagaimana anak mampu menjadi pendengar yang baik.
C.     Tujuan yang dirancang konselor adalah sebagai konsekuensi hipotesis yang dimiliki konselor mengenai alasan seorang anak memiliki sikap tertentu. Misalnya tidak mampu menjadi pendengar yang baik merupakan akibat dari perubahan atau keadaan kurang mampu mengelola emosi. Sehingga konselor memiliki tujuan untuk mengatasi dan menaggulangi sisi kemampuan pengelolaan emosional pada anak.
D.    Tujuan Anak-anak

3.      METODE  TERAPI
Konselor dalam melakukan proses konseling anak, bisa secara individu maupun kelompok. Ada anggapan bahwa bekerja dengan anak-anak sudah cukup membantu mengatasi masalah yang mengganggu. Ada pula yang melakukan tradisi terapi keluarga dan meyakini bahwa terapi keluarga saja sudah cukup. Beberapa ahli terapi keluarga mengatakan bahwa bekerja secara individual dengan anak tidak baik karena anak akan menjadi kambing hitam dan dianggap sebagai sumber masalah. Beberapa konselor yang bekerja dengan anak meyakini bahwa terapi keluarga tidak member kesempatan kepada anak untuk mengatasi masalah yang mengganggu secara pribadi dan bersifat sensitif. Hal itu perlu dipahami bahwa pada saat selesai proses konseling dengan anak, maka selanjutnya anak akan mampu membagi informasi pada keluarga. Jika terapi keluarga saja yang digunakan, informasi yang didapat hanya bersifat di permukaan, sehingga masalah anak akan tetap ada. Jika ingin ada perubahan yang cepat perlu mengintegrasikan konseling anak secara individu dengan terapi keluarga.
Pendekatan integratif yang digunakan dalam mengatasi problematika dalam keluarga perlu ditawarkan dalam proses terapi yang komprehensif agar hasilnya positif. Jika pendekatan integratif digunakan dengan tepat dan hatihati, maka anak tidak menjadi kambing hitam atau dianggap sebagai sumber masalah. Justru sebaliknya, ketika anak mulai berubah, maka anggota keluarga lainnya akan menyadari kebutuhan mereka, mengubah pikiran, perilaku, dan keyakinannya sehingga melakukan tugas sesuai dengan perannya dalam keluarga.
Pendekatan integratif yang dapat digunakan konselor dalam proses konseling salah satunya adalah terapi keluarga eksperiensial. Konselor berpartisipasi penuh dan melibatkan diri ikut dalam kelompok untuk membentuk tenaga yang handal dalam keluarga. Tujuannya adalah agar setiap sesi konseling setiap anggota keluarga berpartisipasi aktif dan peduli terhadap apa dan bagaimana perilaku yang harus dilakukan terhadap situasi yang ada sekarang dalam keluarga. Selain itu juga sebagai media interaksi dengan komunitas secara intens di dalam maupun di luar keluarga untuk mewujudkan tujuan konseling yang hendak dicapai serta meningkatkan kesejahteraan sosial yang berdampak pada pandangan anak terhadap dunia kehidupannya di masa mendatang. Secara tidak langsung hal tersebut berpengaruh juga pada kemampuan anak dalam mengatasi permasalahan dan tantangan dalam kehidupan dalam keluarga.

4.      PERAN TERAPIS
Keterlibatan konselor dalam terapi keluarga eksperiensial selain menciptakan hubungan baik, juga mampu mendengarkan suara dan emosi klien serta anggota keluarga. Konselor bias berpartisipasi penuh dalam keluarga, menjadi sahabat, orang yang dapat dipercaya dalam pertemuannya dengan anggota keluarga sehingga tercapai suasana keakraban yang alami. Keakraban dengan keluarga digunakan konselor untuk memahami dan merasakan isi hati mereka. Proses konseling yang jujur akan terjadi jika individu yang ada dalam anggota keluarga selalu berusaha untuk menempatkan diri sebagaimana adanya dan memahami orang lain sebagaimana adanya pula.
Peran keluarga dalam membantu proses konseling anak adalah membantu konselor membuat keputusan dan memikirkan rencana tindakan untuk perubahan dan perkembangan emosi anak ke arah yang positip, menjaga kondisi kesehatan fisik dan psikis anak agar mudah melakukan komunikasi intepersonal dan intrapersonal, mampu bekerjasama dengan anggota keluargauntuk membantu proses konseling, sebagai agen pengubah lingkungan keluarga agar anak dapat mengelola emosi ke arah yang posistif.
Keluarga dalam melakukan perannya membantu konselor untuk mengelola emosi anak dapat dilakukan dengan cara yang berbeda-beda. Pengaruh budaya, keyakinan keluarga, norma, mitos, nilai, sikap akan menimbulkan persepsi anak mengenai keluarga tempat mereka hidup. Cara anak-anak berpikir dan bersikap dalam keluarga berkaitan dengan bagaimana cara anggota keluarga lain memperlakukan mereka sebagai individu maupun kelompok. Jika keluarga memahami masalah anak, dan mengenal pola interaksi yang terjadi dalam keluarga, maka akan sangat berkontribusi membantu anak dalam mengelola emosi. Sebelum konselor melakukan proses konseling individual dengan terapi keluarga, di proses awal harus menemui seluruh anggota keluarga dan menunjukkan bahwa keluarga telah siap untuk terlibat dalam proses konseling. Keputusan yang sudah diambil harus ditaati dan dilaksanakan secara aktif oleh semua anggota keluarga. Keterlibatan keluarga dalam proses konseling memberikan kesempatan bagi anggota keluarga untuk menunjukkan perasaan emosional mereka yang berkaitan dengan proses perubahan yang terjadi dalam keluarga. Dengan menyadari perubahan yang telah terjadi diantara sesi konseling, maka perubahan selanjutnya bias diwujudkan. Akhirnya tujuan dari konseling bisa tercapai yaitu terentaskannya masalah yang dialami oleh anggota keluarga.
Kerjasama yang dilakukan konselor, orang tua, dan anggota keluarga dalam proses konseling anak untuk mengelola emosi adalah untuk menciptakan kestabilan perkembangan emosi anak dan mampu menghindari suasana yang bisa menumbuhkan kemarahan anak. Ciptakan suasana lingkungan aman dan nyaman biar anak selalu dalam kondisi senang dan bahagia. Sebagai contoh hal-hal yang perlu diperhatikan orang tua dan anggota keluarga untuk membantu konselor dalam mengelola emosi anak

5.      KESIMPULAN
Sikap orang tua dalam merespon perilaku dan sikap anak juga berbeda dengan kemauan anak, sehingga memunculkan masalah pada anak. Hal itu merupakan tantangan bagi keluarga bagaimana menghadapi dan mengelola perkembangan emosional yang terjadi dalam anggota keluarga. Bagi anakanak, banyak hal yang terjadi dalam keluarga di luar kontrol mereka.
Berbagai macam problematika keluarga ada beberapa masalah yang mudah bisa diatasi adapula yang membutuhkan bantuan orang lain untuk  menyelesaikan problematika dalam keluarga melalui proses konseling. Melaksanakan proses konseling anak berbeda dengan remaja dan orang dewasa. Konselor harus memahami dunia anak serta mampu berkomunikasi secara verbal maupun non verbal pada anak. Bekerjasama dengan anggota keluarga agar melaksanakan perannya dalam proses konseling anak, sehingga proses pencapaian tujuan dalam proses konseling bisa focus dan maksimal. Melaksanakan konseling anak tidak mudah, untuk itu dibutuhkan pendekatan yang tepat dan integratif, salah satunya adalah menggunakan terapi keluarga eksperiensial. Pendekatan ini menekankan pada pentingnya pengalaman dan mengekspresikan emosi here and now dan proses pertumbuhan alamiah dalam keluarga, meningkatkan rasa memiliki keluarga, dan meningkatkan kemampuan keluarga untuk memberikan kebebasan sebagai individu setiap anggotanya.

 

All About Psychology Template by Ipietoon Cute Blog Design