PSIKOTERAPI
DISUSUN OLEH:
ANNISA RACHMADILA RIANI (10512973)
FEBBRY RAHMAT DWICAHYO (12512844)
IKHTIARNA UKHTI MALION (13512588)
NURSILA RAISAMATARI S (15512518)
KELAS: 2PA03-3PA06
UNIVERSITAS
GUNADARMA
A.
KONSEP DAN PRINSIP DASAR FAMILY THERAPY
Terapi
keluarga adalah model terapi yang bertujuan mengubah pola interaksi keluarga
sehingga bisa membenahi masalah-masalah dalam keluarga (Gurman, Kniskern &
Pinsof, 1986). Terapi keluarga muncul dari observasi bahwa masalah-masalah yang
ada pada terapi individual mempunyai konsekuensi dan konteks sosial. Contohnya,
klien yang menunjukkan peningkatan selama menjalani terapi individual, bisa
terganggu lagi setelah kembali pada keluarganya. Menurut teori
awal dari psikopatologi, lingkungan keluarga dan interksi orang tua- anak adalah
penyebab dari perilaku maladaptive (Bateson et al,1956; Lidz&Lidz, 1949
;Sullivan, 1953).
Teori keluarga memiliki pandangan
bahwa keluarga adalah fokus unit utama. Keluarga inti secara tradisional
dipandang sebagai sekelompok orang yang dihubungkan oleh ikatan darah dan
ikatan hukum. Fungsi keluarga adalah sebagai tempat saling bertukar antara
anggota keluarga untuk memenuhi kebutuhan fisik dan emosional setiap individu.
Untuk menjaga struktur mereka, sistem keluarga memiliki aturan, prinsip-prinsip
yang memungkinkan mereka untuk melakukan tugas-tugas hidup sehari-hari.
Beberapa peraturan yang dinegosiasikan secara terbuka dan terang-terangan,
sedangkan yang lain terucap dan rahasia. Keluarga sehat memiliki aturan yang
konsisten, jelas, danditegakkan dari waktu ke waktu tetapi dapat disesuaikan
dengan perubahan perkembangan kebutuhan keluarga. Setiap anggota keluarga
memiliki peranan yang jelas terkait dengan posisi sosial mereka.
Terapi keluarga
sering dimulai dengan fokus pada satu anggota keluarga yang mempunyai masalah. Khususnya, klien yang diidentifikasi
adalah remaja laki-laki yang sulit diatur oleh orang tuanya atau gadis remaja
yang mempunyai masalah makan. Sesegara mungkin, terapis akan berusaha untuk
mengidentifikasi masalah keluarga atau komunikasi keluarga yang salah, untuk
mendorong semua anggota keluarga mengintrospeksi diri menyangkut masalah yang
muncul. Tujuan umum terapi keluarga adalah meningkatkan komunikasi karena
keluarga bermasalah sering percaya pada
pemahaman tentang arti penting dari komunikasi (Patterson, 1982).
Terapi keluarga mengajarkan
penyelesaian tanpa paksaan, mengajarkan orang tua untuk menetapkan kedisiplinan
pada anak-anak mereka, mendorong tiap anggota keluarga untuk berkomunikasi
secara jelas satu sama lain, mendidik anggota keluarga dalam prinsip perubahan
perilaku, tidak menekankan kesalahan pada satu anggota akan tetapi membantu
anggota keluarga apakah hyarapan terhadap anggota yang lain masuk akal.
Pendekatan
berpengaruh yang lain disebut strategi atau terapi keluarga terstruktur
(Minuchin, 1974; Satir, 1967). Disini, terapis berusaha menemukan problem utama
dari masalah klien dalam konteks keluarga, bukan sebagai masalah individual.
Tujuannya adalah untuk mengurangi sikap
menyalahkan yang mengarah pada satu orang. Contohnya,
terapis menyampaikan bahwa perilaku menentang dan agresif dari remaja mungkin
adalah tanda dari ketidakamanan remaja atau alasan untuk mendapatkan perhatian
yang lebih dari ayahnya. Pada banyak keluarga yang mengalami stress, pesan
emosional begitu tersembunyi sehingga anggota keluarga lebih sering berbicara
tanpa berbuat. Mereka sering mengasumsikan bahwa mereka dapat “saling membaca
pikiran masing-masing”.
Saat ini,
terapi keluarga terstruktur telah disesuaikan untuk membawa faktor budaya yang
mungkin berpengaruh pada terapi keluarga dari kelompok etnis tertentu. Untuk
membawa keluarga ke terapi, membuat mereka tetap kembali, harus ada perjanjian
keluarga yang disusun untuk menghindari hal-hal berikut :
1. penolakan anak
untuk mengikuti terapi,
2.
sikap ambivalen ibu dalam memasukkan
keluarganya ke dalam terapi,
3.
penolakan keberadaan seorang ayah dalam
keluarga, dan
anggota
keluarga tetap berusaha menjaga rahasia keluarga dari orang asing.
Terapi keluarga biasanya diberikan saat pasien sudah dewasa
sebagai hasil dari keluarga yang patologis. Terapi
individual mungkin tidak berguna karena kondisi keluarga yang tidak mendukung.
Kondisi
keluarga itu bisa mengganggu kepribadian dan tingkah laku pasien. Namun jika
memungkinkan, tritmen bagi penderita skizofrenia atau borderine yang masih awal
dengan memanfaatkan seluruh anggota yang ada mungkin bisa berguna. Terapi
dimulai dengan fokus pada masalah yang dialami pasien dalam keluarga dan
kemudian anggota keluarga menyampaikan/memberikan kontribusi masing-masing.
Terapis bertugas untuk mendorong seluruh anggota keluarga untuk mau terasa
terlibat dalam masalah yang ada bersama-sama.
Ketika masalah muncul, terapi akan
berusaha untuk mengidentifikasi masalah keluarga atau komunikasi keluarga yang
salah, untuk mendorong semua anggota keluarga mengintrospeksi diri menyangkut
masalah yang muncul. Tujuan umum terapi keluarga adalah meningkatkan komunikasi
karena keluarga bermasalah sering percaya pada pemahaman tentang arti penting
dari komunikasi (Patterson, 1982).
Terapis keluarga biasa dibutuhkan ketika :
1. Krisis keluarga
yang mempengaruhi seluruh anggota keluarga
2. ketidak harmonisan seksual atau
perkawinan
3. konflik
keluarga dalam hal norma atau keturunan
B.
UNSUR-UNSUR DALAM FAMILY THERAPY
Terapi keluarga
didasarkan pada teori system (Van Bertalanffy, 1968) yang terdiri dari 3
prinsip. Pertama adalah kausalitas sirkular, artinya peristiwa berhubungan dan
saling bergantung bukan ditentukan dalam sebab satu arah–efek perhubungan. Jadi, tidak ada anggota keluarga
yang menjadi penyebab masalah lain; perilaku tiap anggota tergantung pada
perbedaan tingkat antara satu dengan yang lainnya. Prinsip kedua, ekologi,
mengatakan bahwa system hanya dapat dimengerti
sebagai pola integrasi, tidak sebagai kumpulan dari bagian komponen.
Dalam system keluarga, perubahan perilaku salah satu anggota akan mempengaruhi
yang lain. Prinsip ketiga adalah subjektivitas yang artinya tidak ada pandangan
yang objektif terhadap suatu masalah, tiap anggota keluarga mempunyai persepsi
sendiri dari masalah keluarga.
Terapi keluarga tidak bisa digunakan
bila tidak mungkin untuk mempertahankan atau memperbaiki hubungan kerja antar
anggota kunci keluarga. Tanpa adanya ksadaran akan pentingnya menyelesaikan
masalah pada setiap anggota inti keluarga, maka terapi keluarga sulit
dilaksanakan. Bahkan meskipun seluruh anggota keluarga datang atau mau
terlibat, namun beberapa system dalam keluarga akan sangat rentan untuk
terlibat dalam terapi keluarga.
1.
PERAN PERAWAT DALAM TERAPI KELUARGA
Untuk peran perawat sendiri dalam terapi keluarga adalah
melakukan asuhan keperawatan yang relevan dimana untuk perawat yang tidak
memiliki sertifikasi dalam melaksanakan terapi adalah memberikan psiko edukasi
pada keluarga sedangkan bagi yang memiliki sertifikasi adalah memberikan terapi
sesuai dengan kondisi pasien. Sementara itu, menurut Newman intervensi yang
dilakuakn perawat mencakup intervensi primer dan tersier yaitu :
A. mendidik
kembali dan mengorientasikan kembali seluruh anggota keluarga.
B. memberikan
dukungan kepada klien serta sistem yang mendukung klien untuk mencapai tujuan
dan usaha untuk berubah
C. mengkoordinasi
dan mengintegrasikan sumber pelayanan kesehatan
D. memberi
penyuluhan, perawatan di rumah, psiko edukasi,dll
Tak kalah penting adalah jika kita bukan perawat
bersertifikasi kita bisa melakukan hal paling mendasar untuk menentukan apakah
seseorang tersebut memnag membutuhkan terapi keluarga atau tidak yaitu dengan
pengkajian indikasi dilakukan terapi keluarga pada klien tersebut/diantaranya
yaitu:
A.
Segan terhadap psikoterapi individu
karena takut, tidak percaya pada terapi, menetang keras terapi, melawan figure
orang tua.
- Tidak\kurang berpengalaman dengan saudara-saudaranya, mempunyai pertentangan dengan anggota keluarga lain, tidak\sukar menyesuaikan diri dalam keluarga.
- Ada salah satu anggota keluarga yang mempunyai intelegensi rendah atau komunikasi keluarga yang terhambat.
Selain Peran perawat yang perlu diperhatikan juga adalah
bagaimana perawat membantu serta mendorong keluarga untuk terlibat dalam
mencegah klien kambuh. Alasan keluarga dilibatkan dalam mencegah kekambuhan
pada klien adalah :
A.
keluarga merupakan tempat individu
pertama memulai hubungan interpersonal dengan lingkungan.
- Keluarga merupakan suatu sistem yang utuh dan tidak terpisahkan sehingga jika ada satu yang terganggu yang lain ikut terganggu.
- Keluarga menurut Sullinger(1988) merupakan salah satu penyebab klien gangguan jiwa menjadi kambuh lagi sehingga diharapkan jika keluarga ikut berperan dalam mencegah klien kambuh setidaknya membantu klien untuk dapat mempertahankan derajat kesehatan mentalnya karena keluarga secara emosional tidak dapat dipisahkan dengan mudah.
2. Tujuan Terapi Keluarga
A. Menurunkan
konflik kecemasan keluarga.
B. Meningkatkan
kesadaran keluarga thd kebutuhan masing-masing anggota keluarga.
C. Meningkatkan
kemampuan penanganan terhadap krisis.
D. Mengembangkan
hubungan peran yg sesuai.
E. Membantu keluarga menghadapi tekanan
dari dlm maupun dari luar anggota keluarga.
F. Meningkatkan
kesehatan jiwa keluarga sesuai dg tingkat perkembangan anggota keluarga.
C.
TEKNIK FAMILY THERAPY
Terapi keluarga dilakukan dengan
menggunakan tehnik berikut :
1. Terapi
Keluarga Berstruktur.
Terapi keluarga
berstruktur adalah suatu kerangka teori tehnik pendekatan individu dalam
konteks sosialnya.
Tujuan
adalah mengubah organisasi keluarga.
Terapi
keluarga berstruktur memepergunakan proses balik antara lingkungan dan orang
yang terlibat perubahan– perubahan yang ditimbulkan oleh seseorang terhadap
sekitarnya dan cara–cara dimana umpan balik terhadap perubahan perubahan tadi
mempengaruhi tindakan selanjutnya. Terapi keluarga mempergunakan tehnik –
tehnik dan mengubah konteks orang–orang terdekat sedemikian rupa sehingga
posisi mereka berubah dengan mengubah hubungan antara seseorang dengan konteks
yang akrab tempat dia berfungsi, kita mengubah pengalaman subyektifnya.
2. Terapi
Individu / Perorangan
Melihat
individu sebagai suatu tempat yang patologis dan mengumpulkan data yang di
peroleh dari atau tentang individu tadi.
Pada
terapi perorangan dilakukan pengungkapan pikiran dan perasaan tentang
kehidupannya sekarang, dan orang – orang didalamnya. Riwayatnya perkembangan
konfliknya dengan orang tua dan saudara – saudaranya.
Bila
akan dirujuk ke dalam terapi keluarga maka terapist akan mengekporasi interaksi
individu dalam konteks hidup yang berarti.
Dalam
wawancara keluarga terapist mengamati hubungan individu dengan anggota keluarga
lainnya dukungan yang diberikan oleh anggota keluarga.
Dalam perjalanannya,
untuk membedakan suatu dimensi dari berorientasi individu ke sistem yang
diorientasikan pemikiran, keluarga therapists dapat diuraikan seperti kepala
perguruan tinggi/ dirigen. Dirigen, sebagai
pembanding, cenderung ke program dan mengorganisir cara bekerja, menentukan
agenda, menugaskan tugas, dan dengan aktif menanyai dan mengajar. Dalam kasus
Ackerman, ini mungkin dalam rangka menghilangkan pengingkaran dan kemunafikan,
menuntut anggota keluarga untuk lebih membuka dengan dia dan dengan diri
mereka. Ia menghadapi seksual, agresif, dan perasaan tergantung. Cara nya
besar, yakin, dan jujur. Satir, pada sisi lain, menjadikan dirinya sebagai guru
dan tenaga ahli di komunikasi. Dia
mengarahkan ke diskusi, dan menunjukkan permasalahan dalam hal komunikasi. Dia
menetapkan dirinya sebagai contoh komunikasi yang jelas, penggunaan yang
sederhana dan kata-katanya jelas, dan menjelaskan prinsip nya kepada keluarga.
Meskipun demikian terkait dengan segi manusia yang lain yang dapat merasakan
dan interaksi, dia pada dasarnya seorang guru dan contoh yang memiliki
kejelasan dalam berkomunikasi. Bagaimanapun, apakah lebih sebagai kondektur
atau reaktor, Ackerman dan Satir, semua keluarga therapists perlu bermain suatu
peran yang lebih aktif dibanding yang sudah biasa dalam individu therapy.
Therapist harus yang lebih memiliki kemampuan dalam penggunaan kendali,
melembutkan argumentasi, dan memandu diskusi. Terapi keluarga meletakkan
therapist dalam suatu hubungan yang berbeda dengan klien nya dibanding
dalam terapi kelompok atau individu. Ia
tidak dimulai dari dasar yang sama atau dari sama sama ketidak-tahuan. Anggota
keluarga masuk dengan suatu pengalaman umum; therapist adalah orang luar. Dalam
pelaksanaan bahkan untuk mengerti sindiran sindiran mereka untuk membagi
bersama pengalaman, ia harus belajar ke kultur keluarga, bahasa dan aturan.
Therapist harus sampai kepada dalamnya
sistem keluarga memahami dan bekerja dengan itu. Sekalipun begitu ia tidak bisa
menjadi 'yang diatur & bagian dari sistem', karena ia harus menyendiri dari
itu dalam rangka memahami aktivitas nya dan untuk memandu perubahan nya.
Begitu, sisanya antar detasemen dan keterlibatan menjadi yang lebih dikritisi
dalam keluarga therapy dibanding dalam bentuk lain psikoterapi. Cara-cara lain,
adalah dengan berbagi tugas yang umum
dari semua therapists, untuk menyediakan suatu atmospir yang mendukung dan aman
untuk menghadapi pengalaman menyakitkan.
Therapy
umumnya mulai dengan usaha untuk menemukan apa yang sedang mengganggu keluarga
dan apa yang mereka harapkan melalui terapi ini. Sesi pertama atau kedua hanya
boleh melibatkan pasangan yang sudah menikah, dimana sebagai pemimpin
menyangkut keluarga. Yang secara khas cukup, masalah yang ada dikaitkan dengan
perilaku yang menganggu menyangkut pasien yang dikenali "Pemuda lontang
lantung mogok sekolah, dan menggunakan narkoba." Itu hampir suatu
kebenaran mutlak bahwa semua anggota keluarga tidak membagi dugaan yang sama
tentang apa yang salah, mengapa masalah datang, atau seberapa penting hal itu
diharapkan untuk di tritmen bersama-sama. Untuk memperjelas gabungan persepsi
dan alasan adalah suatu awal tugas penting. Dalam proses yang sama, therapis
berusaha untuk mengkomunikasikan sebagian dari peraturan utama, bahwa semua
anggota akan diperlakukan sebagai individu, mereka akan masing-masing
diharapkan untuk mengambil bagian, dan poin-poin pandangan mereka akan
dihargai.
D.
PENDEKATAN FAMILY THERAPY
1. Network therapy
Secara logika,
terapi keluarga adalah
perluasan dari simultan
dengan semua yang tersedia
dari system kekeluargaan,
teman, dan tetangga serta siapa
saja yang berkepentingan untuk
memupuk rasa kekeluargaan
( Speck and Attneave, 1971).
2. Multiple-impact therapy
Multiple-impact therapy
biasanya dapat membantu
remaja pada saat mengalami
krisis situasi ( MacGregor et al.,1964 ). Tim kesehatan
mental bekerja dengan keluarga yang beramasalah selama dua hari. Setelah dibei
pengarahan, anggota tim akan dipasangkan dengan
salah satua atau lebih anggota keluarga dengan beberapa varisasi
kombinasi. Mungkin ibu dan putrinya dapat ditangani oleh satu orang terapist,
sedangkan ayah ditangani secara individual sepert halnya anak laki-lakinya.
Bila dibutuhkan regroup diperbolehkan untuk mengeksplorasi maslah keluarga yang
rumit. Tujuan dari terapi adalah untuk reorganisasi sistem keluarga sehingga
dapat terhindar dari malfungsi. Diharapkan sistem keluarga menjadi lebih
terbuka dan adaptif, untuk itu terus dilakukan followup.
3. Multiple- family and multiple-
couple group therapy
Masa
kegiatan kelompok keluarga
selanjutnya menimbulkan suatu
keadaan yang biasa
untuk membantu masalah
emosional ( e.g., Laqueur, 1972 ). Model ini,
partisipan tidak dapat
memeriksa satu persatu
dengan mentransaksi keluarga
kecil mereka tetapi
mengalami simultan mengenai
masalah ekspresi oleh
keluarga dan pasangan
suami istri. Dengan demikian,
terapi kelompok ini
dapat menunjang pemikiran
pada pasangan suami
istri.
Daftar pustaka
Sundberg, D,
Winebarger, A, Taplin, J. 2007. Psikologi Klinis. Yogyakarta : Pustaka
Pelajar.
Wiramihardja,
S.A. 2004. Pengantar Psikologi Klinis (Edisi Revisi). Bandung : Refika
Aditama
Becvar, Dorothy S. Becvar, Raphael
J. 1976.Family Teraphy ( A systematic Intregation). Adivision of Simon
& Schester, Inc. Needham Height; Massachusetts.
Korchin, Sheldon J. 1976.Modern
Clinical Psychology. Basic Books, Inc. Publishers: New York.
Nietzel, Michael. 1998. Introduction
To Clinical Psychology. Simon & Schuster / Aviacom Company. Upper Saddle River: New
Jersey.
Massachusetts,
A Simon & Scuster Company. Imbercoopersmith, Evan. 1985. Teaching Trainee
To Think In Triad. Journal of Marital and Family Therapy, Vol.11, No.1,61-66.
REVIEW JURNAL
SAWWA – Volume
8, Nomor 2, April 2013
JUDUL: “PERAN
TERAPI KELUARGA EKSPERIENSIAL DALAM KONSELING ANAK UNTUK MENGELOLA EMOSI”
1. LATAR BELAKANG
Proses konseling anak
sangat membutuhkan peran dari anggota keluarga. Keluarga merupakan hubungan
atau interaksi antara dua orang atau lebih dan mempunyai ikatan darah, ikatan
karena perkawinan, kekerabatan yang didalamnya terdapat suatu sistem saling mengikat
satu sama lain seperti adanya aturan-aturan, perbedaan budaya, dan perbedaan
peran setiap anggota.9 Lingkungan keluarga merupakan suatu tempat dimana anak
berinteraksi sosial dengan orang tua yang paling lama. Perkembangan sistem
sosial dikembangkan dalam keluarga untuk memberikan pengalaman pada anak
bagaimana menyesuaikan diri dengan lingkungan di luar keluarga.
Perilaku
anak yang tidak bisa diterima oleh lingkungan akan berdampak pada anggota
keluarga lainnya. Apalagi jika perilaku tersebut disebabkan oleh gangguan
emosional yang tidak terselesaikan dalam lingkungan keluarga. Hal itu akan
berdampak buruk bagi perkembangan emosi anak selanjutnya. Untuk itu dibutuhkan
interaksi yang intens dalam keluarga untuk menjaga agar emosi anak tidak
terganggu. Jika keluarga tidak mampu mengatasi masalah anggota keluarga, maka
dibutuhkan konselor untuk membantu menyelesaikan masalah yang menimpa
keluarganya.
Peran
terapi adalah sebagai katalisator perubahan, dengan memanfaatkan dampak
personal perasaan dengan keluarga. Hal
ini bisa memunculkan transferensi (pemindahan) dan kontratransferensi. Untuk
itu dibutuhkan usaha menyampaikan perasaan terbuka agar kontratransferensi bisa
diminimalisir.
2. TUJUAN
Tujuan terapi ini juga
membantu memperjelas komunikasi dalam keluarga dan menghindarkan adanya
keluhan-keluhan, sehingga ada usaha untuk menemukan solusi. Untuk itu anggota
keluarga ikut aktif terlibat dalam proses konseling dan tetap mempertahankan
harga diri yang positif.
Menurut David dan
Kathryn Geldard tujuan proses konseling pada anak memiliki 4 tingkatan, yaitu:
A. Tujuan
fundamental bisa diterapkan secara global bagi semua anakanak dalam terapi,
yaitu memberdayakan anak-anak untuk menghadapi masalah emosional yang
menyakitkan, mencapai tingkatan kongruen yang berkaitan dengan pemikiran,
emosi, dan perilaku, merasa nyaman dengan dirinya, menerima keterbatasan dan
kelebihan dirinya, mampu merubah sikap yang berdampak negatif, bisa berfungsi
dan beradaptasi dengan lingkungan rumah maupun di sekolah, serta memaksimalkan
peluang bagi anak untuk mewujudkan target pencapaian.
B. Tujuan
orangtua ketika melakukan proses konseling biasanya didasarkan pada perilaku
terakhir anak. Misalnya jika anak suka melawan pembicaraan orangtua, maka
tujuannya adalah bagaimana anak mampu menjadi pendengar yang baik.
C. Tujuan
yang dirancang konselor adalah sebagai konsekuensi hipotesis yang dimiliki
konselor mengenai alasan seorang anak memiliki sikap tertentu. Misalnya tidak
mampu menjadi pendengar yang baik merupakan akibat dari perubahan atau keadaan
kurang mampu mengelola emosi. Sehingga konselor memiliki tujuan untuk mengatasi
dan menaggulangi sisi kemampuan pengelolaan emosional pada anak.
D. Tujuan
Anak-anak
3. METODE TERAPI
Konselor dalam
melakukan proses konseling anak, bisa secara individu maupun kelompok. Ada
anggapan bahwa bekerja dengan anak-anak sudah cukup membantu mengatasi masalah
yang mengganggu. Ada pula yang melakukan tradisi terapi keluarga dan meyakini
bahwa terapi keluarga saja sudah cukup. Beberapa ahli terapi keluarga
mengatakan bahwa bekerja secara individual dengan anak tidak baik karena anak
akan menjadi kambing hitam dan dianggap sebagai sumber masalah. Beberapa
konselor yang bekerja dengan anak meyakini bahwa terapi keluarga tidak member
kesempatan kepada anak untuk mengatasi masalah yang mengganggu secara pribadi
dan bersifat sensitif. Hal itu perlu dipahami bahwa pada saat selesai proses
konseling dengan anak, maka selanjutnya anak akan mampu membagi informasi pada
keluarga. Jika terapi keluarga saja yang digunakan, informasi yang didapat
hanya bersifat di permukaan, sehingga masalah anak akan tetap ada. Jika ingin
ada perubahan yang cepat perlu mengintegrasikan konseling anak secara individu
dengan terapi keluarga.
Pendekatan integratif
yang digunakan dalam mengatasi problematika dalam keluarga perlu ditawarkan
dalam proses terapi yang komprehensif agar hasilnya positif. Jika pendekatan
integratif digunakan dengan tepat dan hatihati, maka anak tidak menjadi kambing
hitam atau dianggap sebagai sumber masalah. Justru sebaliknya, ketika anak
mulai berubah, maka anggota keluarga lainnya akan menyadari kebutuhan mereka,
mengubah pikiran, perilaku, dan keyakinannya sehingga melakukan tugas sesuai
dengan perannya dalam keluarga.
Pendekatan integratif
yang dapat digunakan konselor dalam proses konseling salah satunya adalah
terapi keluarga eksperiensial. Konselor berpartisipasi penuh dan melibatkan
diri ikut dalam kelompok untuk membentuk tenaga yang handal dalam keluarga.
Tujuannya adalah agar setiap sesi konseling setiap anggota keluarga
berpartisipasi aktif dan peduli terhadap apa dan bagaimana perilaku yang harus
dilakukan terhadap situasi yang ada sekarang dalam keluarga. Selain itu juga
sebagai media interaksi dengan komunitas secara intens di dalam maupun di luar
keluarga untuk mewujudkan tujuan konseling yang hendak dicapai serta
meningkatkan kesejahteraan sosial yang berdampak pada pandangan anak terhadap
dunia kehidupannya di masa mendatang. Secara tidak langsung hal tersebut
berpengaruh juga pada kemampuan anak dalam mengatasi permasalahan dan tantangan
dalam kehidupan dalam keluarga.
4. PERAN TERAPIS
Keterlibatan konselor
dalam terapi keluarga eksperiensial selain menciptakan hubungan baik, juga
mampu mendengarkan suara dan emosi klien serta anggota keluarga. Konselor bias
berpartisipasi penuh dalam keluarga, menjadi sahabat, orang yang dapat
dipercaya dalam pertemuannya dengan anggota keluarga sehingga tercapai suasana
keakraban yang alami. Keakraban dengan keluarga digunakan konselor untuk
memahami dan merasakan isi hati mereka. Proses konseling yang jujur akan
terjadi jika individu yang ada dalam anggota keluarga selalu berusaha untuk
menempatkan diri sebagaimana adanya dan memahami orang lain sebagaimana adanya
pula.
Peran keluarga dalam
membantu proses konseling anak adalah membantu konselor membuat keputusan dan
memikirkan rencana tindakan untuk perubahan dan perkembangan emosi anak ke arah
yang positip, menjaga kondisi kesehatan fisik dan psikis anak agar mudah
melakukan komunikasi intepersonal dan intrapersonal, mampu bekerjasama dengan
anggota keluargauntuk membantu proses konseling, sebagai agen pengubah
lingkungan keluarga agar anak dapat mengelola emosi ke arah yang posistif.
Keluarga dalam
melakukan perannya membantu konselor untuk mengelola emosi anak dapat dilakukan
dengan cara yang berbeda-beda. Pengaruh budaya, keyakinan keluarga, norma,
mitos, nilai, sikap akan menimbulkan persepsi anak mengenai keluarga tempat
mereka hidup. Cara anak-anak berpikir dan bersikap dalam keluarga berkaitan
dengan bagaimana cara anggota keluarga lain memperlakukan mereka sebagai
individu maupun kelompok. Jika keluarga memahami masalah anak, dan mengenal
pola interaksi yang terjadi dalam keluarga, maka akan sangat berkontribusi
membantu anak dalam mengelola emosi. Sebelum konselor melakukan proses
konseling individual dengan terapi keluarga, di proses awal harus menemui
seluruh anggota keluarga dan menunjukkan bahwa keluarga telah siap untuk
terlibat dalam proses konseling. Keputusan yang sudah diambil harus ditaati dan
dilaksanakan secara aktif oleh semua anggota keluarga. Keterlibatan keluarga
dalam proses konseling memberikan kesempatan bagi anggota keluarga untuk
menunjukkan perasaan emosional mereka yang berkaitan dengan proses perubahan
yang terjadi dalam keluarga. Dengan menyadari perubahan yang telah terjadi
diantara sesi konseling, maka perubahan selanjutnya bias diwujudkan. Akhirnya
tujuan dari konseling bisa tercapai yaitu terentaskannya masalah yang dialami oleh
anggota keluarga.
Kerjasama yang
dilakukan konselor, orang tua, dan anggota keluarga dalam proses konseling anak
untuk mengelola emosi adalah untuk menciptakan kestabilan perkembangan emosi
anak dan mampu menghindari suasana yang bisa menumbuhkan kemarahan anak.
Ciptakan suasana lingkungan aman dan nyaman biar anak selalu dalam kondisi
senang dan bahagia. Sebagai contoh hal-hal yang perlu diperhatikan orang tua
dan anggota keluarga untuk membantu konselor dalam mengelola emosi anak
5. KESIMPULAN
Sikap orang tua dalam
merespon perilaku dan sikap anak juga berbeda dengan kemauan anak, sehingga
memunculkan masalah pada anak. Hal itu merupakan tantangan bagi keluarga
bagaimana menghadapi dan mengelola perkembangan emosional yang terjadi dalam
anggota keluarga. Bagi anakanak, banyak hal yang terjadi dalam keluarga di luar
kontrol mereka.
Berbagai macam
problematika keluarga ada beberapa masalah yang mudah bisa diatasi adapula yang
membutuhkan bantuan orang lain untuk
menyelesaikan problematika dalam keluarga melalui proses konseling.
Melaksanakan proses konseling anak berbeda dengan remaja dan orang dewasa.
Konselor harus memahami dunia anak serta mampu berkomunikasi secara verbal
maupun non verbal pada anak. Bekerjasama dengan anggota keluarga agar
melaksanakan perannya dalam proses konseling anak, sehingga proses pencapaian
tujuan dalam proses konseling bisa focus dan maksimal. Melaksanakan konseling
anak tidak mudah, untuk itu dibutuhkan pendekatan yang tepat dan integratif,
salah satunya adalah menggunakan terapi keluarga eksperiensial. Pendekatan ini
menekankan pada pentingnya pengalaman dan mengekspresikan emosi here and now
dan proses pertumbuhan alamiah dalam keluarga, meningkatkan rasa memiliki
keluarga, dan meningkatkan kemampuan keluarga untuk memberikan kebebasan
sebagai individu setiap anggotanya.
0 komentar:
Posting Komentar